Pages

Rabu, 07 Januari 2015

Ingin Mimpi Bertemu Nabi

Siang itu, dengan wajah muram, seorang murid bersimpuh di hadapan syaikhnya. Syaikh dengan suara wibawanya bertanya, "Apa gerangan yang merisaukanmu?"
"Wahai Syaikh, sudah lama saya ingin melihat wajah Rasulullah walau hanya lewat mimpi. Namun, sampai sekarang keinginan itu belum juga terkabul," jelas si murid.
"Ooo... Rupanya itu yang kau inginkan. Tunggu sebentar..." Setelah diam beberapa saat, berkatalah Syaikh, "Nanti malam datanglah engkau kemari. Aku mengundangmu makan malam."
Sang murid mengangguk kemudian pulang ke rumahnya. Setelah tiba saatnya, pergilah dia ke rumah Syaikh untuk memenuhi undangannya. Dia merasa heran melihat syaikhnya hanya menghidangkan ikan asin.
"Makan, makanlah semua ikan itu, jangan sisakan sedikit pun!" kata Syaikh kepada muridnya.
Karena tergolong murid taat, dia habiskan seluruh ikan asin yang disuguhkan. Selesai makan, dia merasa kehausan. Dia segera meraih segelas air dingin di hadapannya.
"Letakkan kembali gelas itu!" perintah Syaikh. "Kau tidak boleh minum air itu hingga esok pagi, dan malam ini kau tidur di rumahku!"
Dengan penuh rasa heran, diturutinya perintah Syaikhnya. Malam itu dia tidak bisa tidur. Lehernya serasa tercekik karena kehausan. Dia membolak-balikkan badannya hingga akhirnya tertidur karena kelelahan.
Apa yang terjadi?
Malam itu dia bermimpi minum air sejuk dari sungai, mata air, dan sumur. Mimpi itu sangat nyata. Seakan-akan benar terjadi padanya.
Paginya ketika bangun, dia langsung menghadap Syaikh. "Wahai Guru, bukannya melihat Rasulullah, saya malah bermimpi minum air."
Tersenyumlah Syaikh mendengar jawaban muridnya. Dengan bijaksana beliau berkata, "Begitulah, makan ikan asin membuatmu sangat kehausan sehingga kau hanya memimpikan air sepanjang malam. Jika kau merasakan kehausan semacam itu akan Rasulullah maka kau akan melihat ketampanannya."
Terisaklah si murid. Dia sadar betapa cintanya kepada Rasulullah masih sebatas kata. Kerinduan sebatas pengakuan.

Selasa, 06 Januari 2015

Perangko

Beberapa tahun silam, Almarhum K.H. Ali Maksum, pengasuh Pesantren Krapyak, Yogyakarta, bercerita.

Dahulu di Tanah Jawa ada seorang pemuda mendapatkan surat dari kekasihnya. Sebelum surat itu dibuka, perangkonya dilepas, lalu dia telan. Dia pun segera membalas surat itu dan menyatakan bahwa perangkonya telah dia telan. Dia menelannya karena yakin bahwa waktu menempelkan perangko itu, pasti memakai ludah kekasihnya. Jadi, hitung-hitung menelan ludah kekasihnya walaupun sudah kering.

Tak lama berselang, dia dapat surat balasan. Kekasihnya menyatakan terima kasih atas kemurnian cintanya. Namun maaf, katanya, yang menempelkan perangko dahulu bukan dia sendiri, melainkan tukang becak sebelah rumah yang dia suruh untuk mengeposkan. Langsung saja pemuda itu nyengir kecut.

"Itulah ekspresi orang lagi mabuk cinta," kata Pak Kiai menutup ceritanya.

Mana Buktinya?

Alkisah, pada suatu hari di Negeri Arab, ada seorang janda miskin yang mempunyai anak. Karena anaknya menangis kelaparan, janda itu terpaksa harus meninggalkan rumah untuk berkelana mencari uang. Di depan sebuah masjid, dia bertemu seorang muslim dan meminta bantuannya.

“Anakku yatim dan kelaparan, aku minta pertolonganmu,” kata janda itu mengiba.

“Mana buktinya?” tanya lelaki muslim itu.

Janda itu tidak dapat membuktikan ucapannya karena dia sendiri adalah orang asing di tempat itu. Akhirnya, lelaki itu tidak menolongnya.

Setelah itu, janda miskin itu bertemu dengan seorang Majusi. Dia pun meminta bantuannya. Orang Majusi itu mengajak ke rumahnya, memuliakannya, dan memberinya uang dan pakaian.

Pada malam harinya, lelaki muslim yang menolak menolong itu bermimpi berjumpa Rasulullah Saw.. Semua orang mendatangi Nabi dan beliau menyambut mereka dengan baik. Ketika tiba giliran lelaki itu menghadap Rasulullah, beliau mengusirnya dan menyuruhnya pergi.

Lelaki itu berteriak, “Ya Rasulullah, aku ini umatmu yang mencintaimu juga.”

Rasulullah bertanya, “Mana buktinya?”

Lelaki itu tersadar. Rasulullah Saw. menyindirnya karena dia telah meminta bukti saat dimintai pertolongan. Dia menangis, Rasulullah lalu menunjukkannya sebuah taman indah dan hunian megah di surga.

“Lihat ini.” Tutur Rasulullah Saw. “Seharusnya semua ini kuberikan untukmu. Namun, karena kau tidak menolong janda dan anak yatim itu, kuberikan semua ini kepada seorang Majusi.”

Pagi harinya lelaki itu terbangun. Dia mencari janda miskin itu. Ternyata dia menemukannya sedang berada di rumah seorang Majusi.

“Ikutlah kau bersamaku.” Pinta lelaki itu kepada si janda.

Namun, orang Majusi tidak mau menyerahkannya.

“Aku akan beri kau ribuan Dinar asal kau mau menyerahkannya.” Pinta si lelaki muslim.

Orang Majusi tetap tidak mau.

Lelaki itu akhirnya jengkel dan berkata, “Janda ini orang Islam. Seharusnya yang menolongnya sesama muslim juga!”


Orang Majusi itu lalu bercerita, “Tadi malam aku bermimpi bertemu Rasulullah. Dia mengatakan akan memberikan kepadaku surga yang semula akan diberikan kepadamu. Ketahuilah, pagi ini ketika aku terbangun, aku langsung masuk Islam dan menjadi pengikutnya karena aku telah menunjukkan bukti bahwa aku adalah salah seorang pecintanya.”

Engkau Bersama Orang yang Kaucintai

Seorang laki-laki Arab dusun, datang menemui Nabi Saw. dan bertanya,

“Kapan kiamat itu?”

Mendapatkan pertanyaan itu, Rasulullah balik bertanya,

“Apa yang telah engkau persiapkan untuk itu?”

Dia menjawab,

“Demi Allah, saya tidak mempersiapkan amal yang banyak, baik berupa salat atau puasa. Hanya saja saya mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

Nabi Saw. bersabda,

“Engkau akan bersama orang yang kaucintai.” Kata Anas bin Malik, “Aku belum pernah melihat kaum Muslim berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi itu,”
(HR Al-Bukhari).

Keledai

Suatu ketika, Nabi Isa a.s. berdakwah di sebuah kota kecil. Orang-orang meminta beliau untuk menunjukkan mukjizatnya.

“Mukjizat apa yang kalian inginkan?” tanya Nabi.

Mereka menjawab, “Hidupkan orang yang sudah mati.”

Mereka pun pergi ke makam kota dan berhenti di depan sebuah kuburan. Sang Nabi pun berdoa kepada Tuhan agar orang yang sudah mati itu dihidupkan kembali.

Orang mati tersebut bangkit dari kuburnya, melihat-lihat sekelilingnya, dan berteriak, “Keledaiku, mana keledaiku?”

Semua yang hadir menjadi heran.

Lalu Nabi Isa menjelaskan, dahulu dia adalah orang miskin. Kekayaan yang sangat dia hargai pada waktu itu adalah keledainya. Semasa hidupnya dia disibukkan dengan keledai itu.

Nabi Isa berpesan, “Apa pun yang paling kau perhatikan akan menentukan apa yang akan terjadi padamu saat kebangkitan. Di akhirat, kalian akan bersama dengan apa dan siapa pun yang kalian cintai.”

Minggu, 04 Januari 2015

Kapan Kita Harus Tidur?

Imam Ali as berkata, "Pecinta dunia adalah orang yang tidur dalam keadaan kenyang dan banyak tidur akan merusak jiwa dan membawa madharat".

Tidur Gaflah adalah tidur disaat acara-acara keagamaan.

Tidur yang celaka adalah tidur disaat waktu sholat.

WARNA HIJAU: TIDUR QAILULAH adalah tidur sebelum dzuhur sampai masuk waktu dzuhur dan setelah Salat Dzuhur sampai waktu ashar. Ini jenis tidur yang sunnah. Tidur ini akan menghilangkan kemalasan dan menguatkan daya ingat.

WARNA COKLAT: TIDUR GHAILULAH adalah tidur di penghujung hari (menjelang tenggelamnya matahari)  yang akan menyebabkan sakit, bahkan kematian.

WARNA MERAH MUDA: TIDUR AILULAH adalah tidur antara terbitnya fajar shodiq dengan terbitnya matahari. Tidur semacam ini sangat buruk dan tercela, serta menyebabkan kemiskinan dan kuningnya wajah.

WARNA MERAH: TIDUR HAILULAH adalah tidur setelah dzuhur atau waktu dzuhur. Karena ia pemisah antara dzuhur dan salat. Disebut HAILULAH karena menunda-menunda salat awal waktu adalah perbuatan yang tidak terpuji dan tidur diwaktu tersebut sangat buruk.

WARNA BIRU: TIDUR TUKHSHAH adalah tidur setelah waktu isya'. Tidur semacam ini menyebabkan bertambahnya energi dan rezeki yang berkah. Tidur setelah Salat Isya' sampai pertengahan malam sebanding dengan tidur 3 jam mulai pertengahan malam sampai masuk waktu subuh.

WARNA KUNING: TIDUR FAILULAH adalah tidur setelah terbit matahari yang akan berakibat kemalasan dan lemahnya daya ingat.

Adapun berapa jam kita harus tidur bisa liat gambar dengan batasan warna-warnanya.

Itulah waktu-waktu tidur berdasarkan riwayat.

Sabtu, 03 Januari 2015

Pulang

Oleh: Miftah Fauzi Rakhmat


Udara dingin, tapi itu biasa. Matahari bersinar secukupnya dan awan seputih kapas itu bergantian menutupinya. Yang berbeda adalah keheningan yang luar biasa. Terlalu lama, lebih dari setengah jam lamanya. Tak ada seorang pun berbicara. Bahkan tak ada gumam doa. Semua menunggu apa yang terjadi di bawah sana.

Aku tak berani melangkahkan kaki lebih jauh. Di hadapanku berkumpul keluarga yang berduka. Momen seperti ini adalah saat yang harus dihormati. Tidak boleh asal bicara. Terlarang sembarang berkata. Peristiwa duka cita, kembalinya seorang hamba pada Tuhannya, adalah saat-saat istimewa, ketika seluruh raga mematung di hadapan kebesaranNya, dan seluruh jiwa merebah pasrah pada garis ketentuanNya.

Setiap menghadiri pemakaman, aku dan yang hadir selalu diingatkan bahwa giliran satu di antara kami berikutnya. Malakal maut akan mengepakkan sayapnya dan menjemput seorang dari kami. Ajaib, biasanya aku merasa, giliran orang lainlah berikutnya, bukan aku. Setiap mengantar jenazah itu, aku selalu mengira, orang lain yang lebih dulu dijemput, bukan aku. Orang lain yang kuantarkan. Bukan mereka yang mengantarku. Kecuali sekarang ini.

Melihat bagaimana jasad itu diperlakukan, tiba-tiba muncul rasa iri dalam diriku. Haji Abdul Ridha menyebutnya ‘ghibthah’. Iri yang baik. Iri karena rasa hormat. Seperti iri pada orang-orang yang bisa menghafal kitab suci dan kita ingin seperti mereka. Aku tahu iri bukan kata yang tepat. Tapi aku tak tahu kata lainnya.

Aku dengar keluarga memperlakukan almarhumah begitu terhormat. Setelah dimandikan dengan campuran kecil dari air kapur dan bidara, mereka mengkafani jenazah itu dengan kain seribu nama. Seribu nama Tuhan. Lalu doa terpanjat, tiada henti. Alangkah dihormatinya. Alangkah indahnya. Hari apalagi yang paling penting bagi manusia, kecuali hari terakhirnya.

Aku tak mengenal almarhumah. Begitu pula sepertinya Haji Abdul Ridha, guruku. Selain membina madrasah, ia juga bertugas atas satu kompleks pemakaman di depan halaman pusara seorang imam besar dalam Islam, Sayyidina Husain bin Ali radhiyallahu ’anhu, cucunda kinasih baginda Nabi Muhammad Saw. Imam Husain, begitu penduduk kota menyebutnya, gugur tahun 61 Hijriah ketika berjuang menyelamatkan agama yang sejati. Sejak itu, pusaranya menjadi tempat ziarah. Dan sebuah kota tumbuh di sekitarnya. Ada beberapa kompleks pemakaman di sekitar pusara Imam Husain itu. Dan Haji Abdul Ridha diamanati mengurus satu diantaranya. Orang antri, bahkan berebut mendaftarkan namanya untuk dapat dimakamkan di tempat itu. Aku pernah melihatnya sendiri. Tua, muda, bahkan anak yang masih belia, ingin menuliskan namanya. Tentu giliran diatur sang malakal maut, dan hanya dia dan Tuhan yang tahu kelak dijemput di mana, dimakamkan di mana. Tapi tercatat sebagai yang meminta saja, sudah jadi kebahagiaan tersendiri sepertinya.

Aku ikut Haji Abdul Ridha. Usai jenazah dikafani, ia dibawa ke halaman makam cucu Nabi itu. Di sana, menghadap kiblat, ia dishalatkan. Guruku pula yang jadi imamnya. Dan doa-doa diantarkan tiada henti. Tahlil, shalawat nabi, ziarah suci, semua mengalun menemani. Barulah setelah itu, jenazah diarak ke pemakaman. Sebuah lubang sudah disiapkan. Aku turut serta mengangkatnya. Konon, dapat banyak pahala. Aku tak terlalu peduli. Rasanya ingin berkhidmat, pada orang yang hendak kembali ke kampung akhirat.

Sebelum memasuki liang lahat, ia berhenti tiga kali. Diturunkan di pintu masuk pemakaman. Lalu doa kembali dipanjatkan. Lalu diangkat, dan diturunkan lagi, kira-kira pertengahan. Lagi-lagi, seluruh doa itu. Tak sulit menaikturunkan keranda kayu persegi itu, karena kompleks pemakaman tak lebih dari sebuah halaman yang sangat besar. Permukaannya rata. Tak ada nisan mengemuka. Hanya sebaris nama yang tertera, di lantai yang diinjak para peziarah itu.

Jenazah diturunkan lagi. Kali ini, persis di bibir lahat pekuburan. Karena perempuan, ia ditidurkan terlebih dahulu sejajar dengan makam. Membentuk dua garis lurus. Bila laki-laki, ia akan dibaringkan di arah kaki makam, dan diturunkan dari arah itu.

Keluarga sudah ada di dasar makam. Tanah padang pasir tak sulit digali. Butiran debu coklat keemasan lembut terlihat. Tanah itu tak keras, tak juga lentur. Lembut. Indah sekali untuk mendekap jasad itu.

Jenazah sudah dibaringkan oleh keluarga. Kemudian Haji Abdul Ridha turun, dan yang lain naik ke atas. Dan, dimulailah hening itu. Kini hampir setengah jam lamanya. Tak ada yang berani mempertanyakan. Kami semua berdiri di atas makam, dan Haji Abdul Ridha masih di dalamnya. Keluarga terdekat, yang melihat jelas ke dalam, tiada yang berbuat apa pun. Aku pun terdiam. Hening yang mengusik penasaran, dengan ketenangan yang menentramkan.

Akhirnya, Haji Abdul Ridha berdiri. Butir demi butir debu menutupi jenazah itu. Orang membantunya, tapi Haji mengangkat tangannya, memberi isyarat bahwa ia melakukannya seorang diri. Semua mematung sambil berdoa. Hingga akhir dan usai seluruh pemakaman, Haji tertegun dalam doa, lalu menangis teramat hebatnya. Tak ada pula yang berani bertanya kepadanya. Mata Haji terlihat sembab, kemudia terdengar ia berkata, “Mana anak ibu ini? Yang mana putranya? Bawa... Bawa ia padaku...”, ia terlihat berusaha mengatur nafas, dan mengendalikan kata yang keluar dari lisannya. Belum pernah aku melihat Haji seperti itu. Serius, dalam, seperti menyimpan sesuatu yang amat berat, tapi pada saat yang sama bercahaya.

Orang-orang menyarankan agar Haji beristirahat. “Tidak.” Katanya tegas kali ini. “Aku harus bertanya pada anaknya...”. Seorang pemuda kemudian dibawa ke hadapan Haji. Kepadanya, Haji bertanya,

“Ada apa antara ibumu dan Al-Husain?”

“Ada apakah gerangan, Haji?”

“Apakah ia pelantun cerita Al-Husain?”

“Bukan.”

“Apakah ia penyelenggara majelis untuk Al-Husain?”

“Bukan.”

“Apakah ia punya tempat singgah untuk para peziarah Al-Husain?”

“Tidak.”

“Lalu, apa? Mustahil... Pasti ia melakukan sesuatu untuk Al-Husain?”

“Ada, Haji. Dan kami sangat mengenalnya. Ada dua hal. Yang pertama, sejak kami kecil hingga sekarang, hingga akhir hayatnya. Tidaklah Ibuku mengawali harinya, kecuali di pagi hari ia berkata, ‘Ya Husain Ya Husain’. Tidaklah ia memasuki petangnya kecuali ia berkata, ‘Ya Husain Ya Husain’.

Dan kedua, sejak kecil kami, kami hidup sederhana. Ibu menafkahi kami. Kami miskin. Tapi kami punya kebun kecil. Kami tanami mentimun, tomat, dan sebagainya. Hasilnya kami gunakan menopang hidup kami. Enam hari dalam seminggu, kami makan hasil tanam kami. Kecuali hari yang ketujuh. Ibu tidak pernah mengambil hasil hari itu. Kami tidak pernah memakannya. Kami tidak makan hari itu, dan Ibu akan berkata, “Hasil hari ini, mari kita bagikan pada orang banyak. Dan kita antarkan pahalanya untuk Al-Husain.” Begitu, Haji. Hingga datang hari ini.”

Haji kembali menangis, memegang tangan anak muda itu dan berkata, “Tahukah engkau, ketika aku turun untuk mendoakan ibumu, dan kubuka sedikit kafannya, untuk kutaburkan debu tanah ini, tiba-tiba seberkas sinar berkelebat... tanganku mendadak berat, dan kudengar suara berkata, “Haji Abdul Ridha, perempuan ini dalam jamuanku. Ia adalah tamuku.”

Dan keheningan itu kini lebih mencekam. Udara dingin berubah hangat. Tapi aku menggigil gemetaran.

Aku merasa sendirian.

Aku merasa kesepian.



*Dikutip dari Al-Tanwir, Buletin Dakwah Mesjid Al-Munawwarah – Yayasan Muthahhari. Nomor: 323, Edisi: 3 November 2014 / 10 Muharram 1436 H.