Udara
dingin, tapi itu biasa. Matahari bersinar secukupnya dan awan seputih kapas itu
bergantian menutupinya. Yang berbeda adalah keheningan yang luar biasa. Terlalu
lama, lebih dari setengah jam lamanya. Tak ada seorang pun berbicara. Bahkan
tak ada gumam doa. Semua menunggu apa yang terjadi di bawah sana.
Aku
tak berani melangkahkan kaki lebih jauh. Di hadapanku berkumpul keluarga yang
berduka. Momen seperti ini adalah saat yang harus dihormati. Tidak boleh asal
bicara. Terlarang sembarang berkata. Peristiwa duka cita, kembalinya seorang
hamba pada Tuhannya, adalah saat-saat istimewa, ketika seluruh raga mematung di
hadapan kebesaranNya, dan seluruh jiwa merebah pasrah pada garis ketentuanNya.
Setiap
menghadiri pemakaman, aku dan yang hadir selalu diingatkan bahwa giliran satu
di antara kami berikutnya. Malakal maut akan mengepakkan sayapnya dan menjemput
seorang dari kami. Ajaib, biasanya aku merasa, giliran orang lainlah
berikutnya, bukan aku. Setiap mengantar jenazah itu, aku selalu mengira, orang
lain yang lebih dulu dijemput, bukan aku. Orang lain yang kuantarkan. Bukan
mereka yang mengantarku. Kecuali sekarang ini.
Melihat
bagaimana jasad itu diperlakukan, tiba-tiba muncul rasa iri dalam diriku. Haji
Abdul Ridha menyebutnya ‘ghibthah’. Iri yang baik. Iri karena rasa hormat.
Seperti iri pada orang-orang yang bisa menghafal kitab suci dan kita ingin
seperti mereka. Aku tahu iri bukan kata yang tepat. Tapi aku tak tahu kata
lainnya.
Aku
dengar keluarga memperlakukan almarhumah begitu terhormat. Setelah dimandikan
dengan campuran kecil dari air kapur dan bidara, mereka mengkafani jenazah itu
dengan kain seribu nama. Seribu nama Tuhan. Lalu doa terpanjat, tiada henti.
Alangkah dihormatinya. Alangkah indahnya. Hari apalagi yang paling penting bagi
manusia, kecuali hari terakhirnya.
Aku
tak mengenal almarhumah. Begitu pula sepertinya Haji Abdul Ridha, guruku.
Selain membina madrasah, ia juga bertugas atas satu kompleks pemakaman di depan
halaman pusara seorang imam besar dalam Islam, Sayyidina Husain bin Ali
radhiyallahu ’anhu, cucunda kinasih baginda Nabi Muhammad Saw. Imam Husain,
begitu penduduk kota menyebutnya, gugur tahun 61 Hijriah ketika berjuang
menyelamatkan agama yang sejati. Sejak itu, pusaranya menjadi tempat ziarah.
Dan sebuah kota tumbuh di sekitarnya. Ada beberapa kompleks pemakaman di
sekitar pusara Imam Husain itu. Dan Haji Abdul Ridha diamanati mengurus satu
diantaranya. Orang antri, bahkan berebut mendaftarkan namanya untuk dapat
dimakamkan di tempat itu. Aku pernah melihatnya sendiri. Tua, muda, bahkan anak
yang masih belia, ingin menuliskan namanya. Tentu giliran diatur sang malakal
maut, dan hanya dia dan Tuhan yang tahu kelak dijemput di mana, dimakamkan di
mana. Tapi tercatat sebagai yang meminta saja, sudah jadi kebahagiaan
tersendiri sepertinya.
Aku
ikut Haji Abdul Ridha. Usai jenazah dikafani, ia dibawa ke halaman makam cucu
Nabi itu. Di sana, menghadap kiblat, ia dishalatkan. Guruku pula yang jadi
imamnya. Dan doa-doa diantarkan tiada henti. Tahlil, shalawat nabi, ziarah
suci, semua mengalun menemani. Barulah setelah itu, jenazah diarak ke
pemakaman. Sebuah lubang sudah disiapkan. Aku turut serta mengangkatnya. Konon,
dapat banyak pahala. Aku tak terlalu peduli. Rasanya ingin berkhidmat, pada
orang yang hendak kembali ke kampung akhirat.
Sebelum
memasuki liang lahat, ia berhenti tiga kali. Diturunkan di pintu masuk
pemakaman. Lalu doa kembali dipanjatkan. Lalu diangkat, dan diturunkan lagi,
kira-kira pertengahan. Lagi-lagi, seluruh doa itu. Tak sulit menaikturunkan
keranda kayu persegi itu, karena kompleks pemakaman tak lebih dari sebuah
halaman yang sangat besar. Permukaannya rata. Tak ada nisan mengemuka. Hanya
sebaris nama yang tertera, di lantai yang diinjak para peziarah itu.
Jenazah
diturunkan lagi. Kali ini, persis di bibir lahat pekuburan. Karena perempuan,
ia ditidurkan terlebih dahulu sejajar dengan makam. Membentuk dua garis lurus.
Bila laki-laki, ia akan dibaringkan di arah kaki makam, dan diturunkan dari
arah itu.
Keluarga
sudah ada di dasar makam. Tanah padang pasir tak sulit digali. Butiran debu
coklat keemasan lembut terlihat. Tanah itu tak keras, tak juga lentur. Lembut.
Indah sekali untuk mendekap jasad itu.
Jenazah
sudah dibaringkan oleh keluarga. Kemudian Haji Abdul Ridha turun, dan yang lain
naik ke atas. Dan, dimulailah hening itu. Kini hampir setengah jam lamanya. Tak
ada yang berani mempertanyakan. Kami semua berdiri di atas makam, dan Haji
Abdul Ridha masih di dalamnya. Keluarga terdekat, yang melihat jelas ke dalam,
tiada yang berbuat apa pun. Aku pun terdiam. Hening yang mengusik penasaran,
dengan ketenangan yang menentramkan.
Akhirnya,
Haji Abdul Ridha berdiri. Butir demi butir debu menutupi jenazah itu. Orang
membantunya, tapi Haji mengangkat tangannya, memberi isyarat bahwa ia
melakukannya seorang diri. Semua mematung sambil berdoa. Hingga akhir dan usai
seluruh pemakaman, Haji tertegun dalam doa, lalu menangis teramat hebatnya. Tak
ada pula yang berani bertanya kepadanya. Mata Haji terlihat sembab, kemudia
terdengar ia berkata, “Mana anak ibu ini? Yang mana putranya? Bawa... Bawa ia
padaku...”, ia terlihat berusaha mengatur nafas, dan mengendalikan kata yang
keluar dari lisannya. Belum pernah aku melihat Haji seperti itu. Serius, dalam,
seperti menyimpan sesuatu yang amat berat, tapi pada saat yang sama bercahaya.
Orang-orang
menyarankan agar Haji beristirahat. “Tidak.” Katanya tegas kali ini. “Aku harus
bertanya pada anaknya...”. Seorang pemuda kemudian dibawa ke hadapan Haji.
Kepadanya, Haji bertanya,
“Ada
apa antara ibumu dan Al-Husain?”
“Ada
apakah gerangan, Haji?”
“Apakah
ia pelantun cerita Al-Husain?”
“Bukan.”
“Apakah
ia penyelenggara majelis untuk Al-Husain?”
“Bukan.”
“Apakah
ia punya tempat singgah untuk para peziarah Al-Husain?”
“Tidak.”
“Ada,
Haji. Dan kami sangat mengenalnya. Ada dua hal. Yang pertama, sejak kami kecil
hingga sekarang, hingga akhir hayatnya. Tidaklah Ibuku mengawali harinya,
kecuali di pagi hari ia berkata, ‘Ya Husain Ya Husain’. Tidaklah ia memasuki
petangnya kecuali ia berkata, ‘Ya Husain Ya Husain’.
Dan
kedua, sejak kecil kami, kami hidup sederhana. Ibu menafkahi kami. Kami miskin.
Tapi kami punya kebun kecil. Kami tanami mentimun, tomat, dan sebagainya.
Hasilnya kami gunakan menopang hidup kami. Enam hari dalam seminggu, kami makan
hasil tanam kami. Kecuali hari yang ketujuh. Ibu tidak pernah mengambil hasil
hari itu. Kami tidak pernah memakannya. Kami tidak makan hari itu, dan Ibu akan
berkata, “Hasil hari ini, mari kita bagikan pada orang banyak. Dan kita
antarkan pahalanya untuk Al-Husain.” Begitu, Haji. Hingga datang hari ini.”
Haji
kembali menangis, memegang tangan anak muda itu dan berkata, “Tahukah engkau,
ketika aku turun untuk mendoakan ibumu, dan kubuka sedikit kafannya, untuk
kutaburkan debu tanah ini, tiba-tiba seberkas sinar berkelebat... tanganku
mendadak berat, dan kudengar suara berkata, “Haji Abdul Ridha, perempuan ini
dalam jamuanku. Ia adalah tamuku.”
Dan
keheningan itu kini lebih mencekam. Udara dingin berubah hangat. Tapi aku
menggigil gemetaran.
Aku
merasa sendirian.
Aku
merasa kesepian.